Rabu, 21 Mei 2008

karya-karya daerah banjar

Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi, dan Nilai Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.

[sunting] Etimologi dan Definisi

Secara etimologis, istilah peribahasa menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.

Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.

Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, peribahasa Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok besar, yakni :

  1. Peribahasa Banjar berbentuk puisi, terdiri atas :
    1. Gurindam
    2. Kiasan
    3. Mamang Papadah
    4. Pameo Huhulutan
    5. Saluka
    6. Tamsil
  2. Peribahasa Banjar berbentuk kalimat, terdiri atas :
    1. Ibarat
    2. Papadah
    3. Papatah-patitih
    4. Paribasa
    5. Paumpamaan.

Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat terletak pada jenis gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk puisi mempergunakan gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.

[sunting] Simpulan

Berdasarkan paparan dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan semua ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk puisi, setidak-tidaknya memiliki salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni : (1) adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, (2) adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan (3) adanya kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi).

Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Peribahasa Berbentuk Puisi dalam Jatidiri Diri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).

Suku Banjar

[sunting] Peribahasa Banjar Berbentuk Kalimat

[sunting] Pantun Banjar

Nasib Buruk Pantun Banjar di Kalimantan Selatan

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Pengelola Harian Rumah Pustaka Folkor Banjar

[sunting] Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik

Pantun merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).

Sesuai dengan asal-usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni : (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.

Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.

Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.

Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).

Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

[sunting] Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.

Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

[sunting] Status Sosial Pamantunan

Pamantunan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengolah kosa-kata berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang fungional.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah kosa-katanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik pantun Banjar, (2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama bentuk mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4) terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional, (5) terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.

[sunting] Datu Pantun, Pulung Pantun, dan Aruh Pantun

Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan pada zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan dunia mistik. Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.

Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).

Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).

Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.

Datu Pantun diundang berhadir dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan (trance) selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung kesurupan itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut oleh Datu Pantun. Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur dari panggung Baturai Pantun (pensiun).


[sunting] Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk

Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.

Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama.

Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk salah satu usaha itu.

Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.

Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Identitas Puisi Rakyat Berbentuk Pantun Banjar dalam buku Identitas Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119, Propinsi Kalimantan Selatan

Suku Banjar

[sunting] Syair Banjar

=== Mantra Banjar

Tidak ada komentar: